Sunday, February 5, 2012

Goes to Medan City (Part 2)

sebelum aku melanjutkan cerita, aku ingin memberi tahu kalian tentang suku dan budaya 'Batak Karo' secara umum

SUKU KARO

Suku Karo adalah suku yang mendiami Dataran Tinggi Karo, Sumatera Utara, Indonesia. Nama suku ini dijadikan salah satu nama kabupaten di salah satu wilayah yang mereka diami (dataran tinggi Karo) yaitu Tanah Karo. Suku ini memiliki bahasa sendiri yang disebut Bahasa Karo atau Cakap Karo. Pakaian adat suku Karo didominasi dengan warna merah serta hitam dan penuh perhiasan emas.


contoh pakaian adat suku karo
(source: Wikipedia)

dan konon katanya, orang dari suku karo nggak mau disamakan dengan orang suku batak. sejauh yang aku tau dari cerita keluarga, orang karo memiliki cerita sejarah yang lebih 'baik' daripada orang batak. bila dikaitkan dengan pelajaran sosiologi di sekolahku hal ini disebut dengan 'etnosentrisme' yang mengakibatkan 'primordialisme' 
kata sapaan untuk anggota keluarga dari suku karo juga tidak sembarangan, kita menyapa mereka sesuai dengan urutan kelahiran dalam keluarga. misalnya dari keluarga ayahku, kebetulan ayahku adalah anak paling tua dalam keluarganya, oleh karena itu dia dipanggil dengan sapaan 'pak tua' oleh keponakannya, atau 'bi tua' bila anak tertua dari keluarga itu perempuan. lalu adik-adik dari ayahku yang kedua tertua sampai kedua termuda dipanggil dengan kata sapaan 'pak tengah' untuk laki laki dan 'bi tengah' untuk perempuan (seperti panggilan 'ngah momon', 'ngah domi' itu berasal dari kata 'pak tengah'). lalu anak terakhir dipanggil dengan kata sapaan 'pak uda' atau 'bi uda'. sebenarnya masih banyak lagi kata kata sapaan yang digunakan oleh orang suku karo dalam silsilah keluarganya dan aku sendiri kurang paham dengan itu karna begitu banyak dan begitu rumit untuk dipelajari dalam waktu singkat. acara adat dari orang karo juga sangat beragam, diantaranya acara adat untuk perkawinan, dimana orang karo yang menikah dengan orang asing (bukan dari suku karo) harus dilantik menjadi anggota keluarga baru dengan jalan pemberian nama marga. yang barusan aku jelasin hanya sebagian kecil dari kebudayaan dan kebiasaan orang karo, lainnya masih banyak yang kurang aku paham, untuk itu aku hanya bisa memberikan sedikit informasi tentang suku karo, untuk selebihnya kalian bisa baca dan memahaminya sendiri di sini :D

sekarang kalian sudah memiliki sedikit gambaran kan tentang suku karo? nah, cerita aku ke medan berawal ketika keluarga ayahku (keturunan suku karo) akan mengadakan pernikahan adat, dimana anggota keluarga karo yang menikah dengan orang asing harus 'meng-adat-i' supaya orang yang 'diadati' dapat diterima utuh menjadi anggota keluarga karo yang baru. upacara ini sebenarnya tidak diwajibkan, tergantung dari orangtua dari mempelai keturunan karo. karena disini nenekku berkehendak untuk mengadakan peng-adat-an, jadilah acara ini diharuskan untuk dilaksanakan. nama acara ini adalah 'Mengket Rumah Mbaru'  yang artinya 'Pesta Masuk Rumah (adat) Baru'.


ZIARAH - TIGA PANAH, TANAH KARO


sama seperti orang kebanyakan yang akan 'punya acara' di Jawa dimana mereka harus meminta ijin dan restu untuk kelancaran acara pada leluhur mereka. begitu juga dengan kami, beberapa hari sebelum acara di adakan, kita sekeluarga besar pergi berziarah ke tempat Bulang (sebutan kakek untuk orang karo), bi uda Kris, sama bang Pebli (really i miss him so badly! :') :D sebenernya masih banyak lagi leluhur yang kami kunjungi, tapi aku sama sekali tidak mengenal mereka u.u bahkan untuk mengingat namapun aku tidak  mampu. kami berdoa disana, meminta restu agar acara kami dapat berjalan dengan lancar, tapi sebelum kami berdoa, kami tentu saja membersihkan kuburan terlebih dahulu, mencuci keramik gelas gelas yang ada diatas kuburan, serta memberikan persembahan pada leluhur kami. pada saat meminta restu, tentu saja ayahku menggunakan bahasa karo yang sama sekali tidak aku mengerti -.- itu dilakukannya dengan alasan untuk mempererat
tempat ziarah yang paling terakhir adalah tempat yang akan aku ingat sampai kapanpun! tempatnya berada di dalam hutan (mereka bilang itu adalah tanah keluarga, tapi itu lebih pantas jika disebut sebagai hutan, karna memang bentuknya hutan), dan kuburannya berada ditengah tengah tempat menyeramkan itu. karna itu adalah tempat tujuan peziarahan yang terakhir, kami sampai di sana tepat pada saat matahari terbenam. situasi seperti itu menambah kesan angker yang teramat sangat. kami berjalan beriringan, bergandengan tangan di tempat gelap, dan yang lebih menyenangkan adalah turun hujan. ya TURUN HUJAN DI TENGAH HUTAN YANG GELAP! what an awesome situation, right? singkat cerita, kami berdoa memohon restu dibawah situasi yang gelap dan hujan u.u dan kita pulang basah kuyup.
aku mendapat cukup banyak pengetahuan dan pengalaman dari peziarahan ini, karena aku jadi sedikit lebih tau tentang leluhurku dan juga kebiasaan kebiasaan orang karo meletakkan semacam persembahan untuk leluhur diatas daun sirih (aku tidak begitu paham dengan apa yang diletakkan diatas sana, yang pasti terdiri dari tumbuhan tumbuhan yang aku tidak tau apa namanya)


to be continue...



No comments:

Post a Comment